[Review Film] Wonderful Life

 Potongan adegan akhir cerita film Wonderful Life [1]

Wonderful Life merupakan film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Amelia Prabowo. Cerita yang dihadirkan pun merupakan kisah nyata yang dialami langsung oleh anaknya yang bernama Aqillurachman Prabowo (Aqil). Novelnya sendiri sudah terbit sejak April 2015 tahun lalu. Saya belum membaca novelnya, tapi kemarin langsung nonton versi layar lebarnya, hhee. Film bergenre keluarga ini baru tayang serentak (13/10) di seluruh bioskop tanah air.

Film ini disutradari oleh Agus Makkie dan Jenny Jusuf selaku penulis skenarionya. Sementara di jajaran produser filmnya ada Angga Dwimas Sasongko, Handoko Hendroyono, dan Rio Dewanto. Digarap langsung oleh Rumah Produksi Film Visinema Pictures, Creative & Co. Sedangkan pemainnya banyak diisi aktor dan aktris kawakan. Banyak nama-nama yang sudah familiar di kancah perfilman tahan air.

Seperti Atiqah Hasiholan berperan sebagai Amelia Prabowo, Lydia Kandou ibunya, Arthur Tobing sebagai ayahnya, tentunya juga sebagai kakek dari Aqil yang diperankan oleh Sinyo. Alex Abbad ia merupakan tangan kanan Amelia di kantornya, ada juga Totos Rasiti dan Abdurrahman Arif, keduanya sebagai tukang ojek perahu dan karakternya lucu sekali. Tak ketinggalan Didik Nini Thowok yang menjadi salah satu tabib pengobatan tradisional.

REVIEW FILM
Kisah pertama dimulai dari Amelia yang memiliki karir cemerlang. Ia menduduki jabatan sebagai CEO di sebuah perusahaan advertising multinasional. Kesibukan sebagai strategic planner membuatnya banyak kehilangan waktu bersama keluarga, termasuk dalam hal pendidikan anak sulungnya, Aqil. Kondisi lain ada penyebab yang pada ahhirnya mengharuskan ia berpisah dengan suaminya. Sehingga ia jadi single parent mengurus anaknya.

Sementara Aqil di sekolahnya mengalami keterlambatan dalam mengikuti pelajaran, seperti membaca dan menulis. Sejak menyadari itu Amelia membawanya untuk berkonsultasi ke dokter dan diketahulilah bahwa Aqil didiagnosa Disleksia[2]. Sehingga nilai akademiknya tidak mampu bersaing dengan teman-teman sekelasnya.

[2] Disleksia adalah sebuah gangguan dalam perkembangan baca-tulis yang umumnya terjadi pada anak menginjak usia 7 hingga 8 tahun. Ditandai dengan kesulitan belajar membaca dengan lancar dan kesulitan dalam memahami meskipun normal atau diatas rata-rata. (sumber: Wikipedia)

Keinginan Amalia bagaimana pun anaknya harus membaik. Berbagai terapi sudah dijalani oleh Aqil. Tapi hasilnya yang ia rasa kurang memuaskan membuatnya harus berpindah-pinda dari satu terapis, ke terapis lainnya. Ia tetap bersih keras bahwa “setiap penyakit pasti ada obatnya”. Jadi apapun akan terus diupayakan demi kemajuan putranya tersebut.

Apalagi adanya desakan hebat dari kakeknya Aqil. Beliau tetap mengininkan cucunya berprestasi, perinkat satu, bahkan menginginkan Aqil mendapatkan beasiswa. Bila belum mencapai itu Amaleia dianggap masih gagal mendidiknya. Belum lagi tuntutan kerjaannya yang menunggu diselesaikan. Selain prilaku Aqil yang terkadang memancing emosinya.

Situasi semakin rumit. Tekanan pekerjaan, pikiran, semua berkecamuk menjadi satu. Luapaan emosinya kerap kali ia tumpahkan dengan berteriak sekencang-kencangnya. Kadang ditumpahkan di alam bebas, dalam kamar mandi, atau dengan metutup muka menggunakan bantal, supaya teriakannya tidak terdengar dari luar.

Hingga akhirnya pengobatan tradisional coba ia berikan. Sekalipun lokasi tempatnya jauh dari hiruk pikuk keramaian Ibu Kota Jakarta. Berobat jauh-jauh sampai ke Pulau Jawa. Dalam perjalanannya itulah banyak sekali rintangan yang mereka lalui. Mulai dari dukunnya mendiaknosa ringan yang sepele, ban mobil bocor, sampai ke tempat dukun yang secara prakteknya menyimpang.

Jadi semua bukan lagi tentang putranya, tapi lebih ke ambisi seorang ibu yang menginginkan anaknya cepat ‘sembuh’. Ingin dianggap berhasil dan tidak ada lagi yang memandang kerdil anaknya. Padahal upayanya selama ini justeru menutup potensi yang dimiliki Aqil, yang suka menggambar. Aqil memiliki bakat luar biasa dalam seni rupa, khususnya doodle art.

Dari kejadian-kejadian yang dialami selama usaha pengobatan itu, Amalia mulai menyadari obsesinya untuk Aqil sembuh justeru dirasa berlebihan. Apa yang dialami Aqil bukanlah sebuah Penyakit. Ia pun kemudian menyesalinya dan meminta maaf kepada Aqil, memeluknya erak sambil mengatakan “Aqil boleh jadi apa saja, yang Aqil mau. Selama Aqil bahagia, umi (ibu) juga bahagia.”.

Jadi sejak itu Amalia tidak lagi memaksakan kehendaknya. Tapi ingin memberikan kebebasan Aqil memilih apapun yang disukainya. Akhirnya mereka tak lagi melanjutkan ke tempat-tempat pengobatan, tapi memilih kembali pulang ke Jakarta. Dan Amelia menjanjikan membelikan Aqil spidol dan buku gambar yang bagus untuknya. Sampai-sampai dinding rumahnya diperbolehkan dicorat-coret oleh Aqil.

“Ketika seni menjadi solusi, semua Mata akan memandang kagum pada sebuah talenta.” Wonderful Life [1]

Sepertinya Amalia pun sampai berhenti dari pekerjaannya. Ambigu sih, tidak nampak jelas secara pasti sih, tapi dari yang saya tangkap begitu. Dengan memilih konsen menenami Aqil yang suka berada di alam bebas, untuk menggambar yang menjadi bakat dan talentanya. Sampai mampu berprestasi di bidang yang disukai Aqil. Hebat.

KRITIK FILM
Pemeran filmnya tidak ada yang perlu dikomentari. Semuanya berperan dengan bagus, mampu menghidupkan karakter yang diperankan. Nama-nama tenar pemainnya layak jadi jaminan bagusnya akting mereka. Secara kesuluruhan filmnya bagus. Mungkin durasinya kurang pajang, belum greget nontonnya.
Namun, sebagai penikmat film yang sudah menyaksikan seluruh adegan filmnya, pastinya akan ada saja terselip adegan yang menurut diri kita mengganjal, aneh, tak logis (untuk film non fiksi), dan sebagainya. Termasuk dalam film ini yang mana ada satu adegan “kurang pantas” dan bisa dikatakan fatal sekali.

Adegan tersebut saat mereka makan malam di warung pinggir jalan, sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta. Setelah selesai makan dan hendak membayar, saat itu Amalia baru menyadari dompetnya tidak ada dalam tasnya –biasanya kehilangan sesuatu dibocorkan pada adegan sebelumnya, kalau seperti ini bin salabin, tiba-tiba hilang gitu saja.

Singkatnya, Amalia punya ide ‘nakal’ untuk kabur tanpa membayar semuanya. Dengan berpura-pura minta tisu sebagai pengalihan siatuasi dan ketika penjual masuk mengambil tisu, momen itulah yang digunakan mereka untuk kabur. Cacat bagi saya, terlepas dari ending cerita yang ia mengirimkan amplop berisi uang sebagai pengganti dan sekalipun nominalnya besar sekali. Tapi pesan moralnya tak harus seperti itu, kan?, tak lantas kabur begitu saja.

Solusi lain masih banyak kok, misalnya; berterus terang kepada penjual guna mendapatkan solusi bersama, atau menyerahkan barang berharga bila dikonversi nilainya seimbang, bahkan bila lebih pun untuk seukuran orang kaya seperti mereka bukan masalah sepertinya. Karena bagi saya dan kita pun mending membayar lebih dengan barang kesayangan daripada harus berprilaku (maaf) seperti itu.

Cukup yah, kritiknya malah panjang begini. Tapi bukan ini yang ingin saya tonjolkan. Karena toh dalam film Wonderful Life juga ada ketimpangan. Masih menyoal adengan lanjutan tadi, ketika si penjual rela mengejar dengan motor bututnya. Sedangkan kecepatan motornya tak akan mampu melampaui laju mobil mereka. Tapi mirisnya adegan itu dibuat panjang dengan penekanan yang berlebihan.

Sehingga penonton seolah digiring untuk menertawakan ketidak mampuan penjual mengejar dengan motor bututnya dan melupakan adegan tak layak sebelumnya. Padahal ia bersama anaknya. Bukan hanya memberi contoh kurang baik, tapi malah juga melibatkan dia. Mungkin itu yah, setiap orang punya keputusan yang berbeda, apalagi dibawah tekanan situasu yang rumit. Baiklah kita mencoba memahami posisi mereka saat itu.

Kalau adegan tadi memang berasal dari bukunya (nyata), bukan pengembangan cerita versi film. Tetap saja disayangkan kenapa harus dimuat adegan tersebut. Apalagi ini film keluarga, mereka menonton bersama anak-anak mereka. Pemahaman anak kecil belum sejauh kita. Belum tentu memahami ending cerita ada keterkaitan. Khawatirnya tindakan tadi adalah benar menurut anak-anak.

 ***
Film Wonderful Life bisa dijadikan pengingat dan kontrol diri bagi orang tua dan juga semua anggota keluarga. Karena terkadang sebagian orang tua punya ekspektasi dan keinginan tinggi pada anak-anaknya. Melalui film Wonderful Life ini kita menjadi sadar, kebutuhan mereka jauh lebih penting dibandingkan ego pribadi kita semata.

Pola asuh dan pendidikan tidak berlebihan dan juga tidak kurang. Semua disesuaikan dengan porsi dan kebutuhan anak-anak yang tidak sama. Terlebih bagi anak berkebutuhan khusus. Mereka berbeda dan spesial, jadi dalam memberikan perhatian, pendidikan, asuhan, pun semuanya perlu perlakukan yang spesial.

Film bergenre drama keluarga ini cocok sekali buat orang tua, tenaga pendidik atau calon orang tua dalam memahami kebutuhan anaknya. Setiap ada yang dikurangkan, pasti ada yang dilebihkan, sesuai tagline filmnya “..karena setiap anak terlahir sempurnah”. Tinggal menggali potensi yang tersimpan pada mereka, selalu mendukung dan mendampinginya dalam kondisi apapun.

Bioskop 21 Mandala, Malang Plasa, Malang (Kamis, 13 Oktober 2016)

Film ini masih hangat-hangatnya, soalnya baru kemarin tayang perdana di seluruh bioskop di Indonesia. Jadi weekend kali ini bisa dijadikan pilihan kalian untuk menonton film Wonderful Life ini di bioskop terdekat. Karena banyak pesan moral yang bisa dipetik dalam film Wonderful Life. Selepas menonton filmnya kalian tidak akan pulang dengan tangan kosong, pasti ada pelajaran yang bisa dibawak pulang ke rumah. Selamat menonton :)

[1] Sumber gambar dari  https://twitter.com/wonderfullife_m

Baca Tulisan Lainnya:

14 Komentar. Tambahkan Komentar »

  1. Reviewnya mantaaaabbbbb....
    ;)

    BalasHapus
  2. Eh iya ya, adegan kabur setelah makan itu emang lucu tapi kalo ditelisik lebih dalam bisa jadi contoh yang ga baik. Mas Richo emang peka dan jeli, calon ortu teladan neh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi lucu pas kejar-kejaran mas, tapi adegan sebelumnya gitu, jangan sampai dicontoh. semoga bisa seperti itu nantinya mas ;)

      Hapus
  3. film nya bagus .. setuju juga sama artikel nya Rico tentang pesan moral nya...(^_^)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk calon orang tua kayak kita bisa buat pelajaran Nora, he

      Hapus
  4. Hihihi. Mungkin adegan itu dibikin agar fresh setelah ada banyak puncak ketegangan.
    Nah, ini tugas kita sebagai ortu. Kasih tahu bahwa seperti itu tidak baik, harusnya blablabla

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa jadi mbak, adegan lucu selama menyebrang sungai mungkin dirasa belum cukup, jadi ditambah adegan kejar2an yang juga lucu.

      Sip mbak, bisa diberi pemahaman bahwa hal tsb tidak sepatutnya ditiru dalam dunia nyata.

      Hapus
  5. selalu sedih baca review film..krn penasaran mau nonton tp di kota saya tidak ada bioskop hiks

    BalasHapus
    Balasan
    1. kasihan sama Aqil Bun, sekitarnya menganggap yang dialaminya sebuah penyakit, padahal tidak.

      Hapus
  6. Wah ternyata ada adegan yg perlu pendampingan ortu juga ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, pada bagian itu ortu perlu memberikan pemahanan lebih pada anaknya.

      Hapus
  7. Hidup itu tak semulus jalan tol.. mungkin itu sebabnya setiap adegan disampaikan lugas.. termasuk kejadian di warung. Memang bukan tindakan yang baik tapi bukan berarti harus ditutupi. Itu sebenarnya satu edukasi buat anak saat menonton.. peran orangtua sebagai pendamping lah yang harus menjelaskan. Bila film digambarkan mulus tanpa cacat...film justru menjadi terlihat membosankan. #thatsmyopinion

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat mbak, mungkin pada kondisi itu pemecahan solusi tdk ditemukan sehingga sampai melakukan tindakan kurang tepat. Yap, pada porsi ini peran orang tua yang harus memberikan penjelasan kalau yang dilakukan tdk perlu dicontoh, ambil baiknha, buang negatifnya. Mungkin saya terlalu berekspekasi tinggi pada sosok Amalia mbak, wanita karir sukses, sebagai CEO yang kerap kali memberikan keputusan strategis, pendidikan tinggi, cakap bertindak, tapi pada titik tertentu tidak sesuai harapan, mungkin itu yang menjadikan saya gelisah pada kasus di atas. Kaget saja sampai memilih tindakan seperti di atas.

      Hapus

Silahkan tinggalkan komentar Anda. Apapun itu, selama tidak merugikan, merendahkan, dan menghina golongan tertentu. Baik itu berupa kritik maupun saran terkait bahasan di atas. Terima kasih atas komentar dan kunjungannya yah :)